Jumat, 15 April 2016

Mengalah dan Mengakui



Berbeda paham dan berseberangan pandangan mengarah kepada perselisihan dan perselisihan mengarah kepada kemarahan dan kemarahan adalah api, dan air adalah pemadam api, bila air adalah pemadam api maka mengalah adalah pemadam kemarahan tersebut.

Mengalah di samping menghentikan perselisihan, ia juga memulihkan hubungan sehingga ia tetap terjaga dengan baik. Hubungan yang selalu baik inilah yang diharapkan oleh setiap suami istri dan diinginkan oleh agama. Oleh karena itu mengalah dan memaafkan sangat dianjurkan.
Sebagai contoh, dalam konteks perceraian di mana mahar dibagi setengah-setengah antara suami istri, terdapat anjuran mengalah kepada masing-masing dengan membiarkan setengah mahar yang menjadi hak untuk pasangannya.
Firman Allah, “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Baqarah: 237).
Ayat lain mempersilakan suami istri melakukan kesepakatan damai dengan mengalah dan tidak menuntut sebagian haknya demi kelanggengan dan kebaikan rumah tangga.
Firman Allah Ta’ala, “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”(An-Nisa`: 128).
Mengalah demi kelangsungan rumah tangga dicontohkan oleh Ummul Mukminin Saudah binti Zam’ah dengan memberikan hak bermalam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah dengan izin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baginya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi bagi seorang wanita di atas posisi sebagai istri seorang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lebih-lebih Nabi terbaik.
Terkadang perselisihan di antara suami istri terjadi karena perkara-perkara yang jika diteliti maka hasilnya sulit untuk dikatakan suami benar seratus persen atau istri benar seratus persen, ternyata suami dalam batas-batas tertentu juga salah, istri pun juga demikian.
Kalau pihak yang salah harus meminta maaf maka dalam kasus seperti ini siapa gerangan yang meminta maaf? Bagaimanapun yang memulai meminta maaf, dialah yang lebih baik sebagaimana jika dua muslim bertemu, yang lebih baik adalah yang mendahului mengucapkan salam. Akan tetapi harus diingat, mengalah dan memaafkan adalah demi kebaikan. Jika sebaliknya maka tidak perlu, silakan cari jalan yang lain.
Mengakui
Mengakui sisi baik dan positif yang dipunyai oleh pasangan, anggaplah perselisihan yang terjadi adalah karena kekurangan pasangan, akan tetapi bukankah dia juga memiliki kebaikan-kebaikan yang lebih besar dan lebih banyak? Biasa, kalau dalam kondisi marah yang terlihat di depan mata adalah keburukan.
Imam asy-Syafi’i berkata,
عَيْنُ الرِضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَة
كَمَا أَنّ عَيْنَ السُخْطِ تُبْدِى المَسَاوِيَ
Mata kerelaan buta terhadap segala aib
sebagaimana mata kebencian membuka keburukan
Dalam konteks perceraian yang biasanya terjadi dalam kondisi benci, ayat al-Qur`an memerintahkan untuk tidak melupakan keutamaan di antara pasangan, firman Allah, “Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 237).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dari Abu Hurairah,
لاَيَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ.
“Hendaknya seorang mukmin tidak membenci seorang mukminah jika dia tidak menyukai satu perangainya niscaya dia menyukai yang lain.” (HR. Muslim).
Tidak ada manusia tanpa kesalahan dan kekeliruan termasuk Anda. Jika itu yang ada dalam pikiran Anda, bukankah hal yang sama juga ada dalam pikiran pasangan Anda? Kalau begitu kapan Anda dengan pasangan berbaikan?
Bacalah ucapan penyair ini.
مَنْ ذَا الَذِى تُرْضَى سَجَايَاه كُلُّهَا
كَفَى بِالمَرْءِ نُبْلاً أَنْ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ
Siapa gerangan yang seluruh sifatnya diterima
cukuplah seseorang itu dianggap baik jika aib-aibnya terhitung

Tidak ada komentar:
Write komentar

Follow Us