Salah satu fitnah zaman modern dewasa ini ialah merebaknya ideologi
materialisme. Ideologi ini berdasarkan gagasan bahwa materi, harta atau
kekayaan merupakan tolok ukur mulia tidaknya seseorang.
Semakin kaya
seseorang berarti ia dipandang sebagai orang mulia dan semakin sedikit
materi atau harta yang dimilikinya berarti ia dipandang sebagai seorang
yang hina dan tidak patut dihormati. Maka di dalam sebuah masyarakat
yang telah diwarnai materialisme setiap anggota masyarakat akan berlomba
mengumpulkan harta sebanyak mungkin dengan cara bagaimanapun, baik itu
jalan halal, syubhat maupun haram.
Dalam sebuah masyarakat berideologi materialisme semua orang manjadi
sangat iri dan berambisi menjadi kaya setiap kali melihat ada orang
berlimpah harta lewat di tengah kehidupan mereka. Persis sebagaimana
masyarakat Mesir di zaman hidupnya seorang tokoh kaya-raya bernama Qarun
digambarkan di dalam Al-Qur’an.
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
”Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah
orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita
mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia
benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.(QS Al-Qashshash ayat
79)
Zaman kita dewasa inipun keadaannya sangat mirip dengan zaman Qarun
tersebut. Berbagai kemewahan tokoh kaya, selebritis, artis, olahragawan
dan pejabat dipertontonkan di televisi dan media lainnya sehingga
masyarakat berdecak kagum dan tentunya menjadi iri dan berambisi ingin
menjadi hartawan seperti mereka pula. Sedemikian kuatnya ambisi tersebut
terkadang muncullah berbagai kasus mengerikan di tengah masyarakat.
Sebut saja munculnya perdagangan bayi, penjualan organ tubuh, pelacuran,
korupsi, pencurian, perampokan dan pengkhianatan para pejuang yang
semestinya berada di jalan Allah. Semua dilakukan karena terbuai dengan
mimpi ingin secara instan menjadi seorang yang kaya.
Bardasarkan hal ini pantaslah bilamana teladan kita Rasulullah
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan kita suatu prinsip
penting dalam hal menghindari berkembangnya kemungkinan faham
materialisme di tengah masyarakat. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam
justeru mengajarkan ummat Islam agar senantiasa rajin memandang kepada
kalangan yang kurang beruntung secara materi daripada diri kita sendiri.
Hal ini diharapkan akan menumbuhkan rasa syukur dan ridha atas
pemberian Allah.
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ
هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang lebih rendah daripada kalian, dan janganlah
memandang orang yang di atas kalian. Maka yang demikian itu lebih layak
untuk dilakukan agar kalian tidak menganggap remeh akan nikmat Allah
yang telah dianugerahkan kepada kalian.” (HR Muslim)
Betapa dalamnya pesan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam di atas.
Andaikan setiap kita berpegang teguh kepada prinsip di atas niscaya
masyarakat akan terhindar dari ideologi materialisme. Tidak mungkin akan
muncul suatu anggapan bahwa harta merupakan tolok ukur kemuliaan
seseorang. Setiap orang akan senantiasa rajin mensyukuri segenap karunia
Allah yang telah diterimanya. Islam mengajarkan bahwa tolok ukur
kemuliaan sejati ialah taqwa seseorang kepada Allah.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. (QS Al-Hujurat ayat
13)
Allah tidak pernah berfirman: ”Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling berharta di antara
kamu”. Tidak…! Allah jelas tegas menyatakan bahwa taqwa merupakan tolok
ukur sesungguhnya mulia-hinanya seseorang di mata Allah. Semakin
bertaqwa seseorang berarti semakin mulia dirinya di sisi Allah. Dan
sebaliknya semakin tidak bertaqwa seseorang berarti semakin hinalah
dirinya di mata Allah Yang Maha Mulia. Dan perkara ini tidak berkaitan
dengan banyak-sedikitnya harta yang dimiliki orang tersebut. Bisa jadi
seseorang berharta sedikit atau banyak, asalkan ketqwaannya kepada Allah
memang tinggi, berarti mulialah dirinya di sisi Allah. Sebaliknya,
berapapun kekayaan atau kemisikinan seseorang, bilamana ketaqwaannya
kepada Allah sangat tipis, apalagi tidak ada samasekali, berarti orang
tersebut hina di dalam pandangan Allah. Taqwa merupakan timbangan sejati
bernilai atau tidaknya seseorang dalam pandangan Allah yang Maha Tahu
dan Maha Teliti PengetahuanNya.
Maka hadits riwayat Imam Muslim di atas sudah semestinya menjadi
pegangan seorang beriman. Hendaklah bila sudah menyangkut urusan harta
dan kekayaan seorang muslim janganlah memandang silau kepada orang yang
berada di atas dirinya. Tapi sepatutnya ia bersibuk memandang mereka
yang lebih rendah daripada dirinya sehingga rasa syukur dan ridha akan
pemberian Allah senantiasa terpelihara di dalam dirinya. Bila ia sibuk
memandang kepada mereka yang lebih kaya daripada dirinya, niscaya yang
muncul adalah keluhan dan ketidakpuasan akan pemberian Allah kepada
dirinya. Maka di zaman Qarun hidup ada sebagian masyarakat Mesir yang
tetap bersikap benar dalam memandang Qarun. Mereka inilah yang disebut
Allah di dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang yang berilmu dan mereka
sangat faham akan hakekat kemuliaan dan kehinaan di dalam kehidupan fana
ini.
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ
لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang
besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh
orang-orang yang sabar”.(QS Al-Qashshash ayat 80)
Orang-orang yang berilmu sangat sadar bahwa pahala dari Allah karena
iman dan amal sholeh seseorang, jauh lebih utama dan berharga daripada
sekedar harta dan kekayaan duniawi seperti yang dikumpulkan oleh seorang
Qarun. Itulah sebabnya tatkala pada akhirnya Allah mencabut hak
kekayaan Qarun dengan mendatangkan bencana yang menghancurkan segenap
kekayaan dan diri Qarun, barulah kaum awam yang jahil alias bodoh atau
sempit wawasan itu memahami dan menyadari betapa bodohnya diri mereka
karena tergiur menginginkan seperti yang dimiliki oleh Qarun.
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الأرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ
مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ وَأَصْبَحَ الَّذِينَ
تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالأمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ
لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا
لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka
tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab
Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela
(dirinya). Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan
kedudukan Qarun itu. berkata: “Aduhai. benarlah Allah melapangkan rezeki
bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya;
kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia
telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung
orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)”. (QS Al-Qashshash ayat
81-82)
Sosok Qarun dan siapapun yang memiliki mental dan sikap seperti dia,
adalah sosok yang mengingkari nikmat Allah. Mereka menyangka bahwa
kekayaan yang mereka kumpulkan merupakan hasil prestasi dirinya dan
tidak ada kaitan dengan Allah yang Maha Menentukan pembagian rezeki
manusia. Mereka tidak pernah besyukur kepada Allah akan rezeki yang
diterima. Dan mereka tidak pernah memohon rezeki kepada Allah saat
dirinya sedang mengalami kesulitan rezeki. Mereka hanya mengandalkan
kemampuan dirinya sendiri dalam urusan materi. Mereka inilah kaum yang
berideologi materialisme. Sungguh mateialisme tidak sama dengan Islam.
Bersyukurlah kita orang beriman memiliki iman dan islam sebagai pegangan
hidup. Alhamdulillahi rabbil-’aalamiin.-
Jumat, 15 April 2016
Materialisme Versus Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar